Belajar dari Sejarah Umat Islam Indonesia
Hampir dalam satu dekade terakhir isu mengenai Islam dan keutuhan negara menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Sekelompok orang yang menyatakan dirinya cinta NKRI menganggap terdapat sekelompok umat Islam yang ingin mengubah sistem demokrasi Indonesia menjadi sistem kekhalifahan. Sistem ini menegasikan batas-batas kedaulatan negara dan anti terhadap kemajemukan sehingga mengancam keutuhan NKRI. Ketegangan antara negara c.q. pemerintah dan umat Islam puncaknya terjadi ketika dibubarkannya dua organisasi besar pada tahun 2017 dan 2020, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
Kendati pun topik mengenai Islam dan keutuhan negara baru-baru ini nyaring diperbincangkan, faktanya topik ini sudah ada jauh sebelum hari ini mencuat ke permukaan. Dalam catatan sejarah, tarik menarik dan saling tuduh antara kaum nasionalis dan kaum religius (Islam) sudah bergejolak sejak sebelum Indonesia merdeka.
Kuntowijoyo dalam bukunya yang pertama yang berjudul “Dinamika Sejarah Umat Islam” menggambarkan dengan jelas tentang persoalan umat islam sejak Indonesia sebelum merdeka hingga masa Orde Baru. Hebatnya, meskipun Kuntowijoyo tidak menulis buku tersebut pasca reformasi (hari ini), tetapi apa-apa yang terjadi sekarang ternyata bisa dikaji dari peristiwa-peristiwa terdahulu yang pernah terjadi.
Kuntowijoyo membagi periodisasi umat Islam Indonesia menjadi tiga periode, sebagai berikut:
- Periode Utopia (Wong Cilik)
Periode utopia terjadi ketika di masyarakat terdapat hierarki sosial yang begitu keras di bawah kungkungan kolonial dan kerajaan (masyarakat patrimonial), di mana pada saat itu dikenal terdapat kelas orang-orang besar (priyagung) dan kelas orang-orang kecil (wong cilik). Umat Islam tergolong sebagai kelas wong cilik yang berada pada stratifikasi sosial golongan bawah. Kondisi masyarakat yang demikian membuat umat Islam membutuhkan sosok yang dapat menjadi “obat” untuk menghilangkan rasa pahit. Mereka berpikiran mistis-religius tanpa memiliki pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan untuk mengubah keadaan. Kondisi demikian membuat mereka berlindung kepada sosok-sosok yang berkharismatik seperti Kyai dan Haji yang dianggapnya dapat melindungi dari kekejaman. Mereka menganggap sosok-sosok berkharismatik tersebut layaknya seperti Ratu Adil (Imam Mahdi) di tengah-tengah masyarakat yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang ada. Dari sosok-sosok tersebut umat Islam dapat digerakkan dalam kelompok-kelompok kecil untuk melakukan berbagai pemberontakan.
2. Periode Ideologi (Umat)
Periode ideologi atau yang dikenal pula sebagai periode Sarekat Islam (SI), terjadi ketika umat Islam telah dapat mengorganisasikan dirinya. Periode ini muncul ketika secara perlahan terdapat kelas baru yang bernama kelas menengah, di mana kelas ini diisi oleh para pedagang, buruh, dan petani. Berbeda dengan periode utopia, pada periode ini umat Islam telah berpikir rasional dan tidak lagi berlindung kepada sosok yang bersifat kharismatik. Mereka dalam membangung peradaban umat yang kokoh dilakukan dengan cara berkelompok di tengah tokoh-tokoh rasional seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdul Muis, dll. Pada periode ini umat Islam berkelompok dan berorganisasi untuk menentang berbagai ideologi yang tidak sesuai dengan Islam, seperti komunisme dan sekulerisme. Untuk itu, kata kunci pada periode ini adalah “negara” dan pelaksanaan mobilisasi masa. Umat Islam pada saat itu berpandangan secara umum dan global guna mengusahakan supaya nilai-nilai yang ideal yang terkandung dalam Islam dapat menjadi ideologi negara.
3. Periode Ide (Ilmu)
Periode ide atau yang dikenal periode ilmu menggunakan konsep bahwa umat Islam merupakan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara yang lain yang telah diatur secara jelas di dalam aturan hukum. Berbeda dengan periode ideologi yang berjuang untuk mencapai negara yang ideal, pada periode ini yang menjadi kata kuncinya adalah “sistem dan program”. Umat Islam tidak perlu lagi untuk bergantung kepada sosok-sosok tunggal yang dapat memobilisasi masa, hal ini karena umat Islam sudah dapat secara mandiri membangung program-program dan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang lain. Pada periode ini, Islam bukan hanya dijadikan sebagai filsafat ataupun ideologi, tetapi Islam menjadi teori dan dipraktikkan dalam masyarakat.
Pelajaran untuk Hari Ini
Pertama, gerakan Islam harus beralih dari “crisis syndrome” atau “war time mentality” ke “peace time mentality”.
Kedua, perlu ada integrasi antara gerakan Islam dengan masalah nasional.
Ketiga, pendekatan sistemik yang menekankan masalah sosial ekonomi akan sanggup menarik massa sebagai basis sosial perjuangan Islam serta sekaligus menumbuhkan “civil courage”.
Keempat, perlunya gerakan Islam yang integral, secara horizontal dan vertikal.
Kelima, di kalangan angkatan muda Islam perlu adanya pendekatan gerakan pemuda kota dengan pemuda desa.
“… Dan karena Islam adalah sistem yang terbuka, jangan takut dikatakan ‘sama’ dengan yang lain..”
“Umat Islam sedang menghadapi suatu ‘proses sejarah’, dan apabila umat Islam tidak bisa menumbuhkan kepentingan nasional dengan kepentingan Islam maka mereka mudah menjadi korban atau disingkirkan dari proses sejarah.”